Penggalangan Dana dan Bazar dalam Tradisi Alkitabiah dan Gereja Awal

Penggalangan Dana dan Bazar dalam Tradisi Alkitabiah dan Gereja Awal


Akar Alkitabiah Penggalangan Dana

Dalam Perjanjian Lama, pemberian persembahan sejak awal menjadi ekspresi syukur kepada Allah. Misalnya, Kain dan Habel membawa persembahan dari hasil pekerjaan mereka kepada Tuhan (Kej 4:3-7), dan setelah air bah Nuh mempersembahkan korban syukur dari binatang (Kej 8:20). Anagwo menegaskan bahwa uang sendiri bukanlah kejahatan, bahkan dapat menjadi berkat dari Allah (1 Tawarikh 29:12). Artinya, praktik berbagi kekayaan demi pekerjaan Allah memiliki landasan teologis kuat; umat Allah diizinkan dan dianjurkan menempatkan Tuhan dalam semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi mereka.

Dalam konteks bait Allah, hukum Taurat mengatur secara eksplisit pendanaan ibadah. Setiap Israelita diwajibkan membayar pajak bait suci (misalnya pajak seperak-semasin dalam Kel 30:13-16) dan persembahan tertentu untuk operasi bait suci (Im 22:21). Ketika Musa mempersiapkan pembangunan Kemah Suci, Allah memerintahkan umat menyumbangkan bahan bangunan secara sukarela; hasilnya begitu melimpah sehingga akhirnya pemimpin menahan umat untuk tidak menambah sumbangan lagi. Dengan demikian, Baik aturan agama maupun inisiatif umat mengarah pada penggalangan dana untuk pembangunan dan pemeliharaan Bait Allah dalam tradisi Yahudi

Dari sudut pandang Perjanjian Baru, Gereja mula-mula melanjutkan semangat saling memberi. Yesus sendiri tidak menolak persembahan, melainkan memuji pemberian tulus, seperti janda miskin yang memberi “semua yang ada padanya” ke peti persembahan (Mrk 12:41-44). Rasul-rasul melaporkan bahwa murid-murid dan pengikut Yesus dibantu oleh banyak wanita yang “memberi kepada mereka dari kekayaan mereka” (Luk 8:1-3). Dalam Kisah Para Rasul komunitas Kristen awal bahkan mempraktikkan harta bersama: “tidak ada orang yang berkekurangan” karena orang-orang menjual harta dan meletakkan hasilnya di kaki rasul untuk dibagikan menurut kebutuhan (Kis 2:44-45; 4:32-37). Bentuk-bentuk solidaritas ini menunjukkan bahwa memberikan dengan sukarela dan demi kepentingan sesama adalah bagian integral dari kehidupan gerejawi sejak awal.

Etika Liturgis dalam Penggalangan Dana

Pandangan terhadap penggalangan dana gerejawi beragam. Beberapa ahli menganggapnya “cara utama untuk mewujudkan karya misioner Gereja” , sedangkan yang lain mengingatkan bahaya cinta uang (1 Tim 6:10) dalam konteks ibadah. Anagwo mengkritisi praktek fundraising tak etis yang mengubah ibadah menjadi tontonan komersial. Menurut John Obilor, penggalangan dana kadang dipandang sebagai semacam “perniagaan dalam agama” dimana terdapat kegiatan jual-beli dua-arah. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa perilaku ini tetap merupakan bagian penting dari kehidupan keagamaan, asalkan diintegrasikan secara tepat ke dalam ibadah. Dengan kata lain, fundraising dapat dipandang sebagai aksi amal Allah dalam pelayanan gereja, tetapi format dan niatnya perlu dikendalikan oleh nilai injili.

Dalam perspektif teologis, Gereja mengajar bahwa uang tidak jahat, tetapi motivasi yang salahlah yang perlu diwaspadai. Anagwo menyatakan bahwa “uang dapat menjadi berkat dari Tuhan” (1 Taw 29:12) , namun ia juga mengutip ajaran Paulus bahwa “cinta uang adalah akar segala kejahatan” (1 Tim 6:10). Dengan demikian, dalam penggalangan dana harus ditegakkan prinsip-prinsip injili: kemurahan hati, keikhlasan, dan kerendahan hati, bukan keinginan menumpuk kekayaan. Sistem ekonomi rohani Kristen didasarkan pada kerelaan memberi; seperti Rasul Paulus anjurkan jemaat Korintus memberi ‘dengan sukarela, tanpa kesedihan hati’ agar pemberian itu tulus (2Kor 9:7).

Selain aspek motivasi, konteks liturgi juga sangat penting. Liturgi Gereja memiliki norma sendiri yang harus dihormati. Joseph Ratzinger mengingatkan bahwa “pada akhirnya, ibadah dan hukum tidak dapat dipisahkan”. Artinya, setiap tindakan dalam ibadah liturgi, termasuk penggalangan dana, harus sesuai dengan norma liturgis dan etika Gereja. Anagwo menekankan bahwa liturgi bertujuan memuliakan Allah dan menyucikan umat (glorificatio Dei et sanctificatio populi). Oleh karena itu, metode penggalangan dana dalam konteks ibadah wajib menjaga kesungguhan dan martabat perayaan liturgi, bukan diwarnai kemewahan atau hiburan yang melebihi kebutuhannya. Dengan kata lain, kegiatan keuangan gerejawi harus membantu, bukan mengganggu, pencapaian tujuan liturgis.

Bazar dan Komersialisasi Ibadah: Teladan Yesus Kristus

Dalam Perjanjian Baru ditemukan peringatan tegas terhadap komersialisasi tempat ibadah. Kisah Yesus membersihkan Bait Allah menggambarkan sikap tidak kenal kompromi terhadap praktek profiteering. Yesus “menjungkirbalikkan meja-meja penukar uang dan kursi-kursi penjual” di halaman Bait Allah, seraya mengutip nubuat bahwa Rumah Allah seharusnya “rumah doa” bukan “sarang penyamun” (Mat 21:12-13; Mrk 11:15-17). Anagwo mencatat bahwa Yesus tidak mengutuk umat yang memberi persembahan, tetapi secara spesifik menolak praktik pemungutan tidak adil dan beban berlebihan terhadap orang miskin. Teladan Yesus ini menegaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dalam konteks ibadah harus adil dan tidak menjadi sarana eksploitasi; ketulusan dan kesederhanaan lebih diutamakan daripada keuntungan materi semata.

Tradisi Yahudi sendiri sebelumnya telah menyusun aturan agar kegiatan ekonomi dalam bait suci tidak menyimpang. Sebagai contoh, Hukum Taurat mensyaratkan persembahan yang dipersembahkan kepada Tuhan harus “tanpa cacat” (Im 22:21) dan mensyaratkan pajak bait suci setengah syikal per orang (Kel 30:13-16) untuk pemeliharaan tempat ibadah. Para imam mengelola penjualan hewan korban dan penukaran mata uang asing sesuai tarif khusus demi melayani umat peziarah. Semua ketentuan ini bertujuan agar umat menjalankan ibadah dengan kesadaran yang benar. Konteks inilah yang diuji ketika praktik jual-beli di Bait Allah disalahgunakan, sehingga Yesus mengutuk aspek korup yang menyimpang dari tujuan rohani ibadah.

Di samping itu, rasul Paulus mencontohkan pendekatan yang sebaliknya: dalam mengumpulkan dana untuk umat lain, ia menekankan kemurahan hati, rasa syukur, dan misi sosial. Paulus mengajarkan jemaat untuk memberi “dengan sukarela, sebagaimana ditentukan dalam hati, bukan karena terpaksa atau asalasalan” (2Kor 9:7). Adam mencatat bahwa strategi penggalangan dana Paulus berpusat pada tiga prinsip utama yaitu kemurahan hati, rasa syukur, dan tujuan misi sosial. Dengan kata lain, penggalangan dana Kristiani yang ideal lahir dari panggilan spiritual dan kepedulian terhadap sesama, bukan dari motif keuntungan atau manipulasi ekonomi. Prinsip Paulus ini menegaskan bahwa kegiatan bazar atau fundraising gereja harus membangun solidaritas dan keadilan, sehingga “hukum kasih” tetap menjiwainya.

Penutup

Konteks sejarah mengajarkan gereja masa kini menyeimbangkan kebutuhan finansial dengan integritas ibadah. Kegiatan bazar dan penggalangan dana gerejawi tetap dibutuhkan untuk mendukung pelayanan sosial, infrastruktur gereja, dan misi Kristiani. Namun, sebagaimana ditekankan Ratzinger, norma liturgi harus terjaga: perayaan ibadah mesti tetap “diperlakukan dengan martabat dan kesakralan” yang layak. Artinya, kegiatan penggalangan dana harus dirancang agar memperkuat tujuan liturgi (kemuliaan Allah dan pengudusan umat), bukan malah mengaburkan arti perayaan atau menimbulkan kemegahan duniawi yang berlebihan.

Dalam praktik kontemporer, gereja diingatkan untuk menerapkan prinsip Kristiani dalam tata kelola donasi dan bazar. Donasi serta hasil penjualan barang dapat dibuat dengan transparan dan sukarela, tanpa paksaan; pemberitahuan tujuan dan penggunaan dana harus jelas kepada jemaat. Prinsip Paulus tentang memberi “dengan sukarela” dan perintah Yesus kepada murid-murid-Nya agar “memberi tanpa mengambil imbalan” (Mat 10:8) dapat menjadi panduan etis. Sebagaimana kelimpahan hati jemaat lama, solidaritas antar-kongregasi juga penting: Rasul Paulus misalnya mengumpulkan dana antar jemaat untuk membantu gereja Yerusalem (1Kor 16:1-2; 2Kor 8-9) dengan semangat saling menolong.

Kesimpulannya, catatan Alkitab dan tradisi gereja awal menegaskan bahwa uang dan bazar gerejawi bersifat netral — dapat digunakan untuk memuliakan Allah atau disalahgunakan demi tujuan duniawi. Gereja masa kini dapat mengambil hikmah bahwa penggalangan dana harus dilakukan dalam batas moral dan liturgis. Selagi bazar menjadi wadah berbagi berkat dan menggerakkan kepedulian sosial, gereja perlu memastikan pelaksanaannya menghormati martabat ibadah, mendorong kemurahan hati, dan tidak mengorbankan nilai rohani demi keuntungan materi. Dengan demikian, kekayaan yang dikumpulkan gereja akan mendorong misi keselamatan dan keadilan alih-alih memecah-belah jemaat atau mencemari kesucian liturgi.

Referensi
Anagwo, Emmanuel Chinedu. “Ethics of Fundraising in Catholic Worship.” Abuja Journal of Philosophy and Theology 9 (2019): 19–33.
Adam, Iddrisu Shaibu. “Apostle Paul’s Fundraising Economic Theory of Savings and Social Change.” E-Journal of Religious and Theological Studies 6, no. 6 (2020): 274–280. 

Comments